Momok “Ular Panjang” di Patahan Lembang

Momok “Ular Panjang” di Patahan Lembang

Laporan Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut kekuatan gempa yang bergerak di kawasan Bandung Utara ini mencapai 3,3 skala Richter. Berdasarkan skala Mercalli, getaran gempa ini masih tergolong II - III. Artinya ia masih ringan dan sebatas dirasakan beberapa orang, mirip getaran selepas truk berlalu dan menggoyangkan benda-benda ringan yang bergantung di udara. \"Skala Mercalli yang terjadi di Kampung Muril sebetulnya lebih besar. Karena lokasi pusat gempanya amat dekat,\" ujar Irwan Meilano, seorang pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung. Patahan atau sesar Lembang melintang sepanjang 29 kilometer, dari ujung barat di Kecamatan Ngamprah (Bandung Barat) hingga sisi timur di Kecamatan Cilengkrang (Kabupaten Bandung). Membelah kawasan Bandung utara dan selatan, para ahli memperkirakan sesar Lembang bakal memicu “kiamat kecil”. Kehadirannya tak terpisah dari sejarah Gunung Sunda. Saat meletus pada masa silam, dua pertiga bagian atas Gunung Sunda runtuh ke utara, membuat patahan di sisi selatan yang dikenal sebagai sesar Lembang. Nama Lembang merujuk sebuah kecamatan di Bandung Barat, yang terkenal sebagai lokasi wisata alam. Gawir atau dinding raksasa inilah yang menghalangi pemandangan warga di sebelah utara kaki Gunung Tangkuban Parahu seperti Lembang, Parongpong, dan Cisarua untuk melihat kawasan selatan. Bagi orang utara, gawir ini lazim disebut Pasir Halang—artinya bukit yang menghalangi. Bentangan dinding patahan Lembang ini menahan aliran lahar hingga aliran air tanah dari wilayah utara ke Kota Bandung di selatan. “Sekarang yang kami lakukan adalah bagaimana memberikan informasi ini langsung kepada masyarakat. Peta-peta yang kami buat di kertas ini, itu kan tidak ada tandanya. Mana masyarakat bisa paham, apalagi kalau mereka bukan orang geologi,” ujar Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Wisnu Widjaja  di kantornya, Jakarta Timur, Kamis (28/1/2019). Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pada masyarakat yang berada di wilayah sepanjang patahan Lembang agar bisa lebih waspada. Meskipun menurut Wisnu, gempa bumi yang berakibat patahan memiliki periode pengulangan yang cukup lama yakni antara 170 sampai 670 tahun. Namun menurutnya hal semacam ini tidak bisa dilihat dari sisi waktu, bagaimana pun, menurutnya kewaspadaan perlu diprioritaskan. (Baca: Waspada Sesar Lembang, BNPB Pasang Plang Informasi) Kehadiran sesar di sebuah kawasan bisa berpotensi gempa. Sesar adalah retakan pada lempeng kerak yang bergeser. Kerak bergeser karena terapung di atas mantel bumi (batuan liat dan cair terdiri dari campuran magnesium dan besi). Lapisan ini bergerak perlahan sehingga terpecah-pecah dan bertabrakan satu sama lain. Selain karena tekanan, sebuah sesar yang bergerak dipengaruhi oleh aktivitas tektonik. Hasil kajian terbaru tahun 2017 menunjukkan laju pergeseran sesar Lembang sekitar 3,0- 5,5 mm/tahun. Angka ini bertambah dari prediksi tahun 2011 yang menyebut laju pergeserannya sekitar 2,0 - 4,0 mm/tahun. Selain itu, riset terbaru dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPImenemukan bahwa panjang sesar ternyata 29 kilometer, bukan 22 kilometer sebagaimana acuan peneliti sebelumnya. Hasil riset ini tak lepas berkat pemetaan citra profil morfologi dengan resolusi tinggi lewat penggunaan LIDAR (Light Detection and Ranging). Dari data ini, dengan hitung-hitungan formula ahli paleoseismologi, diperolehlah data empiris soal potensi energi seismik yang dihasilkan saat sesar Lembang aktif. Paleoseismologi adalah studi batuan kuno dan sedimen untuk bukti peristiwa seismik, seperti gempa bumi dan tsunami, dari zaman sebelum catatan disimpan. \"Jika segmen sepanjang 29 kilometer ini bergerak serempak, kekuatannya berkisar 6,5 - 7 skala Richter,\" ujar Dr. Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti dari Geoteknologi LIPI. Pertanyaan mendasar yang seringkali diajukan: Kapan sesar Lembang aktif menjadi gempa besar? Upaya mencari jawaban ini sudah lama dilakoni. Penelitian sesar Lembang bukan hal baru. Ahli Bumi alias geolog asal Belanda, R.W. van Bemmelen, sudah melakukannya pada 1940. Riset sesar Lembang disertakan dalam The Geology of Indonesia (1949), kitab babon van Bemmelen bagi para geolog Indonesia. Ia menyebut kali terakhir sesar Lembang aktif pada 100.000 tahun lalu, bertepatan pembentukan kaldera Gunung Sunda. Pada 1996, penelitian Jan Nossim di Kampung Panyairan, Cihideung, menunjukkan kali terakhir sesar Lembang aktif pada 24.000 tahun lalu. Sebuah sesar disebut aktif jika ia pernah bergeser pada waktu Holosen—dimulai 11.500 tahun lalu hingga sekarang. Jelas, jika mengacu penelitian van Bemmelen dan Nossim, sesar Lembang tidak masuk dalam kategori sesar aktif. Namun, argumen ini belakangan berusaha dipatahkan oleh para peneliti mutakhir. Sejak 2006, para ahli dari Geoteknologi LIPI, ITB, Kemenristek, serta beberapa instansi lain, melakukan dua metode lewat pengamatan data GPS (sistem pemosisi global) di daratan dan penggalian hasil longsoran tanah. Hasilnya diketahui lima tahun kemudian pada 2011 bahwa sesar Lembang dinyatakan aktif. Penelitian ini berlanjut sampai sekarang. Temuan mencengangkan didapat dari penggalian di Batu Lonceng dan Panyairan.  Bentuk berkelok-kelok memanjang ini menandakan gempa bumi besar pernah terjadi. Struktur beban terbentuk akibat guncangan atau getaran tanah menekan lapisan tanah di bawahnya sehingga membentuk batas-batas yang berkelok-kelok. https://twitter.com/giewahyudi/status/1087894062881882113?s=19 Sampai sekarang, belum ada teknologi yang bisa memprediksi secara persis soal waktu gempa dan lokasi pusat gempa. Kejadian-kejadian gempa mikro di sekitar kawasan sesar Lembang, sebagaimana berlangsung selama ini, hanya memberi indikasi kekuatan gempa mendatang. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: